Minggu, 08 Juni 2014

Kemiskinan masih Mendominasi, Provinsi Madura sebagai Solusi

Senin, 3 Maret 2014 20:26 WIB
Kemiskinan masih Mendominasi, Provinsi Madura sebagai Solusi
Kemiskinan masih Mendominasi di Madura
* Mekarkan Diri jadi sebagai Alternatif Solusi

Oleh : Muhlis Ali

Masyarakat Madura hingga kini masih terbilang terbelakang, jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan modernisme. Masyarakatnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Padahal Sumber Daya Alam (SDA) pulau ini sangat melimpah.
DAERAH dikenal sebagai pulau garam ini luasnya sekitar 5.250 km2 dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa. Madura ini sejak puluhan tahun silam sudah terbentuk terdiri dari empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep dan hingga saat ini masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur.
Sekilas tentang Madura. Seperti yang ditulis beberapa sumber, salah satunya yang dirilis Wikipedia, Madura selama berabad-abad telah menjadi bagian daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur.
Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya.
Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad 18 Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Provinsi Jawa Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah Belanda.
Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya, pada tahun 1948 Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya, seperti Republik Indonesia Yokyakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat.
Status Madura di dalam wadah RIS hanya berusia pendek, karena pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia kesatuan di Yogyakarta.
Namun, sejak zaman dahulu kala, kondisi perekonomian di pulau ini sangat memprihatinkan. Kesempatan ekonomi lain yang terbatas telah mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Tak pelak, banyak masyarakat Madura lebih memilih merantau ke pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Mereka merantau dengan tujuan bermamca-macam. Misalnya menimba ilmu ke jenjang lebih tinggi hingga ke luar negeri. Adapula yang memilih hijrah hanya karena kebutuhan ekonomi.
Kondisi hijrah ke daerah lain tersebut terjadi berpuluh-puluh tahun hingga sekarang. Bahkan, mega proyek Jembatan Suramadu yang digadang-gadang sebagai pintu masuk untuk perkembangan atau kemajuan masyarakat Madura tak membuahkan hasil. Bahkan Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS) yang dibentuk untuk menebarkan virus kemajuan dan kesejahteraan hanya jalan di tempat.
Sumber Daya Alama (SDA) seperti minyak dan gas juga tak mampu membuka mata dan telinga penguasa republik ini. Di tengah gencarnya pemekaran daerah baru sebagai upaya untuk mempercepat kesejahteraan di daerah-daerah lain, namun Madura tak sedikitpun terpikirkan untuk memekarkan diri menjadi daerah baru.
Kondisi kesenjangan ekonomi dan pendidikan juga sangat timpang, sehingga kondisi ini membuat kaum mayoritas (miskin) tak berdaya. Tidak hanya itu, kekayaan budaya Madura juga sangat potensial namun tak mampu dilestarikan dengan baik lantaran minimnya dana. Seperti Mamaca, Mamapar Gigi, Kalenengan Karaton, Tandha',Tan-pangantanan, Ojhung, Topeng Dhalang, Topen Getthak, Bajang Kole' Bhasa Madura, Lodrok, Sape Sono', Karapan Sapi, Upacara Adat Nyadar, Upacara Adat Penganten Ngekak Sangger dan sejumlah budaya lokal lainnya.
Apakah kondisi tersebut lantaran apatisme kaum muda dan intelektual maupun tokoh Madura, atau memang negeri Madura dilarang untuk maju? Atau memang pulau ini ditakdirkan untuk menjadi daerah terbelakang? Atau kita sengaja dibungkam dengan kondisi terpuruk hingga kini. Tentu jawabannya ada di dalam jiwa kita, para tokoh Madura, kaum intelektual Madura, kaum muda Madura, masyarakat Madura hingga Penguasa Republik ini.
Tidak sedikit para intelektual senior, muda dan cendikiawan Madura di negeri ini. Tidak sedikit juga letupan kecil untuk mendirikan Provinsi Madura, namun acapkali kandas karena lemahnya konsolidasi dan kesepahaman bersama untuk menjadikan Madura berkembang dan maju serta sejahtera.
Di tengah konstelasi politik yang makin karut marut ini. Tentunya, para stakeholder Madura harus bersatu, berangkulan untuk melepas kepentingan pribadi, maupun kelompoknya untuk berfikir bagaimana Madura menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) mewujudkan kesejahteraan rakyat Madura.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Sesuai regulasi tersebut, ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan Madura sebagai provinsi baru. Salah satunya adalah suatu daerah tersebut sudah memiliki lima kabupaten/kota. Dengan begitu, perlu dibentuk kabupaten baru untuk melengkapi persyaratan yang dianjurkan oleh undang-undang.
Di Sumenep, Bangkalan dan Sampang sangat potensial untuk dimekarkan, karena tiga daerah ini memiliki luas yang representatif. Salah satu ikhtiar politik atau Political Will datang dari mantan Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin Imron mantan Bupati Bangkalan.
Dia bersama sesepuh Madura membentu Dewan Adat Madura (DIM). Organisasi tersebut menjadi salah satu wadah untuk mengantarkan Provinsi Madura. Salah satunya dengan membentuk panitia pemekaran Kabupaten/Kota Bangkalan Selatan, sebagai daerah otonomi baru.
Sementara di Kabupaten Sumenep, ada Pulau Kangean sangat potensial juga menjadi daerah otonomi baru. Upaya ini sudah gencar didengungkan oleh kaum pemuda dan tokoh Madura.
Kita harapkan, dengan beberapa langkah strategis ini mampu menjawab persoalan di Madura. Tidak hanya itu, mari kaum muda, intelektual, mahasiswa, tokoh masyarakat dan masyarakat Madura bersatu menuntaskan cita-cita mulia ini.
Cukup sudah Madura menjadi daerah yang identik dengan kemiskinan, dan jauh dari hingar bingar kemajuan dan kesejahteraan. Semoga tulisan ini mampu menggugah hati kita semua, amien. (*)
Penulis : Ketua Himpunan Generasi Muda Madura (Higemura) dan mantan Ketua PB HMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar